REPUBLIKA.CO.ID,SEMARANG—Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk merelokasi sekolah yang berada pada radius lima kilometer dari puncak Merapi.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, Kunto Nugroho mengatakan, memasuki masa rehabilitasi dan rekonstrusi bencana Merapi, pemerintah provinsi (pemprov) Jawa Tengah mempertimbangkan untuk turut merelokasi sejumlah sekolah.
Saat ini di dalam wilayah rdius lima kilometer dari puncak Merapi terdapat puluhan gedung sekolah. Baik Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) maupun Taman anak- Kanak (TK).
Fasilitas pendidikan bagi masyarakat ini tersebar di wilayah rawan bencana erupsi Gunung Merapi, baik yang ada di wilayah Kabupaten Boyolali, Klaten maupun Kabupaten Magelang. “Pertimbangan untuk melakukan relokasi sekolah di daerah rawan bencana ini telah kami sampaikan kepada Kementerian Pendidikan Nasional untuk dikaji,” ujar Kunto, di Semarang, Senn (22/11).
Meski begitu, lanjut Kunto, pertimbangan untuk merelokasi sekolah ini belum menjadi prioritas yang harus segera dilaksanakan pascamasa tanggap darurat di bidang pendidikan. Hal penting lain yang perlu segera dilakukan adalah pemenuhan kebutuhan dasar agar kegiatan belajar dan mengajar para siswa dapat tetap berjalan. Seperti peralatan sekolah (tas, seragam, buku, alat tulis) dan buku- buku pelajaran.
untuk sekolah yang masuk pada radius di luar lima kilometer, juga perlu mendapat perhatian. Pasalnya tak sedikit bangunan sekolah serta prasarana pendukungnya yang kotor akibat guyuran hujan abu vulkanis dan mendesak untuk segera dibersihkan.
Proses pembersihan abu vulkanis ini, tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru ataupun siswa sekolah yang bersangkutan. Karena mereka juga ikut menjadi korban bencana alam ini. “Oleh karena itu, menurut dia, perlu mobilisasi sumber daya manusia (SDM) untuk pelaksanakan proses pembersiahan sarana dan prasarana pendidikan di lereng Merapi agar memenuhi syarat untuk proses belajar mengajar (PBM),” imbuh Kunto.
Sedangkan untuk siswa yang sekolahnya belum layak digunakan untuk kegiatan belajar dan mengajar, untuk sementara akan diikutkan ke sejumlah sekolah lainnya dengan menggunakan sistem giliran.
Meski ada sarana pendidikan yang belum memungkinkan digunakan untuk kegiatan belajar, bukan berarti kegiatan ini ditiadakan. Proses belajar tetap diselenggarakan meski harus menggunakan cara masuk pagi dan siang. “Pola belajar bergilira ini akan dilakukan, terutama untuk sekolah- sekolah yang memiliki daya tampung cukup, bagi siswa- siswa pengungsi erupsi Gunung Merapi ini,” paparnya.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, Kunto Nugroho mengatakan, memasuki masa rehabilitasi dan rekonstrusi bencana Merapi, pemerintah provinsi (pemprov) Jawa Tengah mempertimbangkan untuk turut merelokasi sejumlah sekolah.
Saat ini di dalam wilayah rdius lima kilometer dari puncak Merapi terdapat puluhan gedung sekolah. Baik Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) maupun Taman anak- Kanak (TK).
Fasilitas pendidikan bagi masyarakat ini tersebar di wilayah rawan bencana erupsi Gunung Merapi, baik yang ada di wilayah Kabupaten Boyolali, Klaten maupun Kabupaten Magelang. “Pertimbangan untuk melakukan relokasi sekolah di daerah rawan bencana ini telah kami sampaikan kepada Kementerian Pendidikan Nasional untuk dikaji,” ujar Kunto, di Semarang, Senn (22/11).
Meski begitu, lanjut Kunto, pertimbangan untuk merelokasi sekolah ini belum menjadi prioritas yang harus segera dilaksanakan pascamasa tanggap darurat di bidang pendidikan. Hal penting lain yang perlu segera dilakukan adalah pemenuhan kebutuhan dasar agar kegiatan belajar dan mengajar para siswa dapat tetap berjalan. Seperti peralatan sekolah (tas, seragam, buku, alat tulis) dan buku- buku pelajaran.
untuk sekolah yang masuk pada radius di luar lima kilometer, juga perlu mendapat perhatian. Pasalnya tak sedikit bangunan sekolah serta prasarana pendukungnya yang kotor akibat guyuran hujan abu vulkanis dan mendesak untuk segera dibersihkan.
Proses pembersihan abu vulkanis ini, tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru ataupun siswa sekolah yang bersangkutan. Karena mereka juga ikut menjadi korban bencana alam ini. “Oleh karena itu, menurut dia, perlu mobilisasi sumber daya manusia (SDM) untuk pelaksanakan proses pembersiahan sarana dan prasarana pendidikan di lereng Merapi agar memenuhi syarat untuk proses belajar mengajar (PBM),” imbuh Kunto.
Sedangkan untuk siswa yang sekolahnya belum layak digunakan untuk kegiatan belajar dan mengajar, untuk sementara akan diikutkan ke sejumlah sekolah lainnya dengan menggunakan sistem giliran.
Meski ada sarana pendidikan yang belum memungkinkan digunakan untuk kegiatan belajar, bukan berarti kegiatan ini ditiadakan. Proses belajar tetap diselenggarakan meski harus menggunakan cara masuk pagi dan siang. “Pola belajar bergilira ini akan dilakukan, terutama untuk sekolah- sekolah yang memiliki daya tampung cukup, bagi siswa- siswa pengungsi erupsi Gunung Merapi ini,” paparnya.
Rep: S Bowo Pribadi
0 komentar:
Posting Komentar